Kamis, 07 Juni 2012

Sekularisme


Sosiologi Agama II
Masalah
Apakah telah terjadi sekularisme di masyarakat Cigadog?
Topik
Agama dan sekularisme
Referensi
Kritik Kebenaran karya Ali Harb Lkis, Yogyakarta, cet. 1, 2004, hlm. 77-79.

Hakikat Sekularisme
Sebaiknya kita membatasi apa yang kita pahami dari kata sekularisme yang menjadi pokok pembicaraan ini. Di kalangan pemikir Arab sendiri tidak ada kesepakatan mengenai makna sekularisme. Apa yang disebut “sekularisme” (‘ilmaniyyah) jelas sulit untuk disifati dan didefinisikan. Kata ini mengundang kerancuan dan kesalahpahaman.
Sesungguhnya makna etimologis dan juga makna terminologis dari kata ‘ilmaniyyah (sekularisme), seperti umumnya terminologi-terminologi yang berlaku di kalangan para pemikir dan ilmuwan, adalah rakyat jelata atau kaum awam, sebagai bandingan dari tokoh-tokoh agama dan pendeta. Yakni semua yang tidak berkaiatan dengan tokoh agama, dan berada di luar otoritas mereka, serta jauh dari intervensi mereka. Istilah itu kemudian digunakan untuk menunjukan apa yang bertentangan dengan agama dan para tokohnya, paling tidak ia memisahkan antara landasan sakral dan landasan politik, antara pendeta dan politikus, dan antara ketuhanan dan kemanusiaan.
Untuk menghindari kerancuan, ada standar yang bisa digunakan untuk membedakan antara sekularisme dan nonsekularisme, yaitu sumber pokok legitimasi yang dijadikan landasan masyarakat dalam menggambarkan identitasnya, dalam merangkai sistem, menata kesatuan, dan menjalankan berbagai persoalannya. Masyarakat religius, atau nonskular, mengambil legitimasi darinya, tetapi makna, sistem dan kesatuannya, diambil dari luar masyarakat tersebut, dari sumber terpisah, transenden, gaib, dan sakral. Di sini manusia tidak memiliki legitimasi dam legalitas karena ia tidak berhak untuk mandiri. Ia semata hanyalah duta atau wakil, bahkan hamba yang menjalankan kesatuan atau kehendak transenden yang melampauinya, yang tidak terletak pada jangkauan pengalamannya. Dengan demikian, kewenangannya adalah metaforis, simbolis, dan sama sekali bukan hakiki. Berbeda dari itu, dalam masyarakat sekular, legitimasi tumbuh dari dalam dirinya, bukan dari luar. Manusia dalam pandangan sekularis, adalah wujud diluar kekurangan-kekurangannya, mandiri dengan nalarnya, melalkukan kontrol sendiri, menciptakan pengetahuan tentang diri dan duniannya dengan meneliti dan mengkajinya, dan melegitimasi dengan lainnya melalui pengalamannya. Dengan demikian, tidak ada sumber legitimasi selainnya.
Sementara dari segi derivasinya, sekularisme tidak berhubungan dengan ilmu. Dari sisi kemunculannya, ia tidak lepas darinya, karena secara historis berkaitan dengan pengajaran agama di gereja. Oleh karena itu, kata ini merupakan pencarian, atau aktivitas rasional (rasionalisme) dan juga merupakan kecenderungan bebas (liberalisme), karena merupakan upaya untuk membebaskan manusia dari belenggunya. Kata ini menjadi madzhab yang memiliki kecenderungan humanis, memiliki muatan liberal, dan bentuk rasional. Oleh karenanya, pembicaraan tentang sekular di dalam pengalaman keagamaan Islam, pada saat yang sama merupakan pembicaraan tentang tendensi - tendesi rasionaliostik, liberal, dan humanis, berbeda dari yang disangkakan dan bertentangan dengan mereka yang menafikannya.
Judul
Agama dan Sekularisme (Studi Kasus Masyarakat Cigadog)
Subjek Penelitian
Masyarakat Cigadog
Hasil Penelitian
Cigadog adalah suatu perkampungan yang terletak di RT. 07, RW. 02, Desa Pamekaran, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Masyarakatnya kurang lebih 70 kepala keluarga, kebanyakan mata pencahariannya bertani, sebagian lain menjadi pedagang dan PNS. Agama mereka semuanya Islam. Di kampung ini pun ada sebuah mesjid yang bernama Al-Qomar yang baru saja disahkan menjadi masjid jami. Masjid ini setiap hari selasa selalu digunakan Ibu-Ibu pengajian rutinan setiap ba`da Ashar. Mesjid ini setiap harinya dalam pelaksanaan shalat berjama`ah yang lima waktu untuk Shubuh, Maghrib dan Isya biasanya dihadiri oleh 2-3 orang saja, dengan orang yang sama dan sudah tua-tua. Untuk Dzuhur dan Ashar jarang ada yang mengisi kecuali ada anak-anak yang sengaja adzan saja. Dalam jum`atan pun biasanya dihadiri oleh 45an terdiri dari kaum tua, muda plus dengan anak-anak. masyarakat kebanyakan masih bekerja pada saat adzan berkumandang itu, terlena dengan pekerjaan hingga lupa waktu, terutama petani yang sering kali menghabiskan waktunya di lahan pertaniannya, sehingga banyak yang shalatnya telat dan ada juga yang tidak melaksanakan shalat. Mengapa terjadi seperti ini? Padahal shalat itu wajib dan merupakan tiangnya agama.
Sudah dijelaskan dalam Al-Qur`an yang artinya :
"Maka dirikanlah shalat itu, sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa': 103)
Dalam Hadits juga sudah dijelaskan yang artinya :
"Islam itu dibangun berdasarkan rukun yang lima; yaitu: Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan Nabi Muhammad itu utusanNya, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)
"Pokok segala perkara itu adalah Al-Islam dan tonggak Islam itu adalah shalat, dan puncak Islam itu adalah jihad di jalan Allah." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits shahih)
”.  .  .  Pokok urusan adalah Islam (masuk Islam dengan syahadat,-pent), tiangnya adalah sholat,’  .  .  .”(HR. Tirmidzi ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Dilihat dari dua sumber Islam betapa pentingnya shalat dalam kehidupan ini, kemungkinan hal ini sudah disampaikan pada masyarakat Cigadog namun mengapa seolah-olah mereka tidak mengetahuinya? Sehingga terkesan mereka sekular dalam kehidupannya, yakni memisahkan antara ketuhanan dengan keduniaan. Mereka seolah-olah lebih mementingkan dunia dibandingkan akhirat. Mereka seakan-akan sudah terkontaminasi oleh yang dinamakan sekularisme itu sendiri.
Sekularisme di Cigadog
Dari makna sekularisme secara etimologis dan terminologis bahwa di dalamnya terdapat pemisahan agama dan kehidupan, dunia dan akhirat. Sehingga tanpa penyandaran dari kata agama pada kata sekularisme pun tidk masalah. Namun dengan seiringnya zaman dan sehingga bahasa pun terjadi perkembangan, terutama dalam segi pengertiannya, yang di tandai dengan pergeseran makna, baik itu meluas ataupun menyempit.
Dengan melihat masyarakat Cigadog dalam menjalani kehidupannya yang seakan-akan sangsi dengan sekularisme dalam keagamaannya. Padahal agama itu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah swt. dalam Al-Qur`an yang bersifat operasional, yakni penuh dengan perjuangan (ikhtiar). Ikhtiar ini dalam rangka membuktikan keagamaannya. Kehidupan masyarakat Cigadog seolah-olah kehilangan nafas keagamaannya di dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Pada saat waktu shalat sudah datang mereka masih asyik dengan pekerjaannya. Sepertinya dunia ini adalah segalanya.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dapat menimpulkan bahwa sekularisme ini memang sedang terjadi di masyarakat Cigadog. Dengan bukti-bukti kebanyakan mereka mengacuhkan shalat yang lima waktu khususunya. Mereka lebih senang melanjutkan pekerjaannya, jika kita tinjau lebih jauh lagi materialisme juga terjadi di kalangan masyarakat ini. Sebagai penguat otentiknya mereka lebih memperjuangkan material dibandingkan yang hakiki. Seharusnya, mereka menyeimbangkannya.
Saran
Sedikit saran dari penulis untuk masyarakat Cigadog, untuk lebih meningkatkan shalat lima waktunya dan lebih giat mengikuti pengajian dan hasilnya harus diamalkan dalam bentuk perbuatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar