Sosiologi
Agama II
Masalah
Apakah telah terjadi sekularisme di masyarakat Cigadog?
Topik
Agama dan sekularisme
Referensi
Kritik
Kebenaran karya Ali
Harb Lkis,
Yogyakarta, cet. 1,
2004, hlm. 77-79.
Hakikat Sekularisme
Sebaiknya
kita membatasi apa yang kita pahami dari kata sekularisme yang menjadi pokok
pembicaraan ini. Di kalangan pemikir Arab sendiri tidak ada kesepakatan
mengenai makna sekularisme. Apa yang disebut “sekularisme” (‘ilmaniyyah)
jelas sulit untuk disifati dan didefinisikan. Kata ini mengundang kerancuan dan
kesalahpahaman.
Sesungguhnya
makna etimologis dan juga makna terminologis dari kata ‘ilmaniyyah (sekularisme),
seperti umumnya terminologi-terminologi yang berlaku di kalangan para pemikir
dan ilmuwan, adalah rakyat jelata atau kaum awam, sebagai bandingan dari
tokoh-tokoh agama dan pendeta. Yakni semua yang tidak berkaiatan dengan tokoh
agama, dan berada di luar otoritas mereka, serta jauh dari intervensi mereka.
Istilah itu kemudian digunakan untuk menunjukan apa yang bertentangan dengan agama
dan para tokohnya, paling tidak ia memisahkan antara landasan sakral dan landasan
politik, antara pendeta dan politikus, dan antara ketuhanan dan kemanusiaan.
Untuk
menghindari kerancuan, ada standar yang bisa digunakan untuk membedakan antara
sekularisme dan nonsekularisme, yaitu sumber pokok legitimasi yang dijadikan
landasan masyarakat dalam menggambarkan identitasnya, dalam merangkai sistem, menata kesatuan,
dan menjalankan berbagai persoalannya. Masyarakat religius, atau nonskular,
mengambil legitimasi darinya, tetapi makna, sistem dan kesatuannya, diambil dari luar
masyarakat tersebut, dari sumber terpisah, transenden, gaib, dan sakral. Di sini manusia
tidak memiliki legitimasi dam legalitas karena ia tidak berhak untuk mandiri.
Ia semata hanyalah duta atau wakil, bahkan hamba yang menjalankan kesatuan atau
kehendak transenden yang melampauinya, yang tidak terletak pada jangkauan
pengalamannya. Dengan demikian, kewenangannya adalah metaforis, simbolis, dan
sama sekali bukan hakiki. Berbeda dari itu, dalam masyarakat sekular, legitimasi tumbuh
dari dalam dirinya, bukan dari luar. Manusia dalam pandangan sekularis,
adalah wujud diluar kekurangan-kekurangannya, mandiri dengan nalarnya,
melalkukan kontrol sendiri, menciptakan pengetahuan tentang diri dan duniannya
dengan meneliti dan mengkajinya, dan melegitimasi dengan lainnya melalui
pengalamannya. Dengan demikian, tidak ada sumber legitimasi selainnya.
Sementara
dari segi derivasinya, sekularisme tidak berhubungan dengan ilmu. Dari sisi kemunculannya,
ia tidak lepas darinya, karena secara historis berkaitan dengan pengajaran
agama di gereja. Oleh karena itu, kata ini merupakan pencarian, atau aktivitas
rasional (rasionalisme) dan juga merupakan kecenderungan bebas (liberalisme),
karena merupakan upaya untuk membebaskan manusia dari belenggunya. Kata ini
menjadi madzhab yang memiliki kecenderungan humanis, memiliki muatan liberal, dan
bentuk rasional. Oleh karenanya,
pembicaraan tentang sekular di dalam pengalaman keagamaan Islam, pada saat yang
sama merupakan
pembicaraan tentang tendensi - tendesi rasionaliostik,
liberal, dan humanis, berbeda dari yang disangkakan dan bertentangan dengan
mereka yang menafikannya.
Judul
Agama dan Sekularisme (Studi Kasus Masyarakat Cigadog)
Subjek Penelitian
Masyarakat Cigadog
Hasil Penelitian
Cigadog adalah suatu perkampungan yang terletak di RT.
07, RW. 02, Desa Pamekaran, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.
Masyarakatnya kurang lebih 70 kepala keluarga, kebanyakan mata pencahariannya
bertani, sebagian lain menjadi pedagang dan PNS. Agama mereka semuanya Islam.
Di kampung ini pun ada sebuah mesjid yang bernama Al-Qomar yang baru saja
disahkan menjadi masjid jami. Masjid ini setiap hari selasa selalu digunakan
Ibu-Ibu pengajian rutinan setiap ba`da Ashar. Mesjid ini setiap harinya dalam
pelaksanaan shalat berjama`ah yang lima waktu untuk Shubuh, Maghrib dan Isya
biasanya dihadiri oleh 2-3 orang saja, dengan orang yang sama dan sudah
tua-tua. Untuk Dzuhur dan Ashar jarang ada yang mengisi kecuali ada anak-anak
yang sengaja adzan saja. Dalam jum`atan pun biasanya dihadiri oleh 45an terdiri
dari kaum tua, muda plus dengan anak-anak. masyarakat kebanyakan masih bekerja
pada saat adzan berkumandang itu, terlena dengan pekerjaan hingga lupa waktu,
terutama petani yang sering kali menghabiskan waktunya di lahan pertaniannya,
sehingga banyak yang shalatnya telat dan ada juga yang tidak melaksanakan
shalat. Mengapa terjadi seperti ini? Padahal shalat itu wajib dan merupakan
tiangnya agama.
Sudah dijelaskan dalam Al-Qur`an yang artinya :
"Maka
dirikanlah shalat itu, sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa': 103)
Dalam Hadits juga sudah dijelaskan yang artinya :
"Islam
itu dibangun berdasarkan rukun yang lima; yaitu: Bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang haq selain Allah dan Nabi Muhammad itu utusanNya, mendirikan
shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah dan berpuasa di
bulan Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)
"Pokok
segala perkara itu adalah Al-Islam dan tonggak Islam itu adalah shalat, dan
puncak Islam itu adalah jihad di jalan Allah." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan
lainnya, hadits shahih)
”. .
. ‘Pokok urusan adalah
Islam (masuk Islam dengan syahadat,-pent), tiangnya
adalah sholat,’ . . .”(HR.
Tirmidzi ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Dilihat dari dua sumber Islam betapa pentingnya shalat
dalam kehidupan ini, kemungkinan hal ini sudah disampaikan pada masyarakat
Cigadog namun mengapa seolah-olah mereka tidak mengetahuinya? Sehingga terkesan
mereka sekular dalam kehidupannya, yakni memisahkan antara ketuhanan dengan
keduniaan. Mereka seolah-olah lebih mementingkan dunia dibandingkan akhirat.
Mereka seakan-akan sudah terkontaminasi oleh yang dinamakan sekularisme itu
sendiri.
Sekularisme di
Cigadog
Dari makna sekularisme secara etimologis dan terminologis
bahwa di dalamnya terdapat pemisahan agama dan kehidupan, dunia dan akhirat.
Sehingga tanpa penyandaran dari kata agama pada kata sekularisme pun tidk
masalah. Namun dengan seiringnya zaman dan sehingga bahasa pun terjadi
perkembangan, terutama dalam segi pengertiannya, yang di tandai dengan
pergeseran makna, baik itu meluas ataupun menyempit.
Dengan melihat masyarakat Cigadog dalam menjalani
kehidupannya yang seakan-akan sangsi dengan sekularisme dalam keagamaannya. Padahal
agama itu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah swt. dalam Al-Qur`an yang
bersifat operasional, yakni penuh dengan perjuangan (ikhtiar). Ikhtiar ini
dalam rangka membuktikan keagamaannya. Kehidupan masyarakat Cigadog seolah-olah
kehilangan nafas keagamaannya di dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini.
Pada saat waktu shalat sudah datang mereka masih asyik dengan pekerjaannya.
Sepertinya dunia ini adalah segalanya.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dapat
menimpulkan bahwa sekularisme ini memang sedang terjadi di masyarakat Cigadog.
Dengan bukti-bukti kebanyakan mereka mengacuhkan shalat yang lima waktu
khususunya. Mereka lebih senang melanjutkan pekerjaannya, jika kita tinjau
lebih jauh lagi materialisme juga terjadi di kalangan masyarakat ini. Sebagai
penguat otentiknya mereka lebih memperjuangkan material dibandingkan yang
hakiki. Seharusnya, mereka menyeimbangkannya.
Saran
Sedikit saran dari penulis untuk masyarakat Cigadog,
untuk lebih meningkatkan shalat lima waktunya dan lebih giat mengikuti
pengajian dan hasilnya harus diamalkan dalam bentuk perbuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar