Jumat, 08 Juni 2012

ANALISA TEORI PSIKOLOGI


Teori  I
Psikorefleksiologi Pavlov[1]
Teori behaviorisme terbagi dalam beberapa cabang. Salah satu cabangnya adalah classical conditioning, dan classical conditioning salah satu cabang teorinyanya adalah teori pavlov. `Ivan Pavlov, yang berhasil membuktikan bahwa anjing-anjing akan mengeluarkan air liur setiap kali mendengar bunyi garfu tala (bel), sekalipun mereka tidak mendapatkan daging, peristiwa ini disebut dengan “ refleks bersyarat.”[2]
Seorang behavioris tidak menaruh minatnya pada soal-soal akhlak, kecuali bahwa ia seorang ilmuawan, tak peduli manusia macam apa itu, manusia adalah korban yang fleksibel, dapat dibentuk dan fasif dari lingkungannya, yang menemtukan tingkah lakunya.[3] Bagi aliran behavirisme psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan prilaku manusia –perbuatan dan ucapannya baiki yang dipelajari maupun yang tidak- sebagai pokok masalah (Wartson, 1919).[4]
Proses Percobaan
Anjing yang lapar di dalam kandang (supaya rangsang tetap terlihat), rangsangan-rangsangannya adalah sebagai berikut:
1.      Rangsangan dengan makanan
2.      Dengan makanan dan cahaya yang berwarna terang
3.      Dengan cahya warna merah
4.      Dengan cahaya warna hijau
Hasilnya, pada percobaan dengan rangsang nomor 1, 2, 3 anjing mengeluarkan liurnya (banyak), namun pada nomor 4 tidak keluar air lur sedikitpun.
Kesimpulan Percobaan:[5]
-          Perangsang bersyarat (perangsang buatan, perangsang tidak wajar pun), yang sama kuatnya dengan perangsang wajar. Reaksi yang timbul itu bersifat refleksif. Karena itu refleks ini disebut reflek bersyarat.
-          Kelenjar-kelenjar yang lainpun dapat mereaksi bersyarat, apabila dilatih berulang-ulang, secara teratur didressur.
-          Dalam didressur, maka binatang dapat menari, melihat warna dan sebagainya seperti perbuatan-perbuatan manusia.
-          Ilmu jiwa yang berobyekkan kesadaran tentu tidak akan berhasil baik di kemudian hari. Ia harus berobyekkan kepada segala yang
tampak oleh wondere dari luar.
Contohnya:
Si A adalah seorang mahasisiwa yang dulunya dari sejak Dia dilahirkan sampai SMA tinggal di daerah pedesaan yang masih bisa digolongkan pada daerah tradisional. Mata pencaharian masyarakat kampungnya adalah petani. Perlu kita ketahui bahwa religiusitas petani itu lebih tinggi dari pada orang-orang yang berada di daerah transisi dan perkotaan. A ini juga terpengehuri oleh lingkungannya yang religiusitas kampungnya. Sehingga ketika ada reflektor religius yang seolah-olah memanggilnya untuk segera melaksanakannya, dia langsung segera melaksanakannya sebagai bukti responsifnya. Contohnya, ketika ia mendengar adzan dia langsung mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat berjama’ah. Adzan yang dalam hal ini kita kategorikan sebagai reflektornya, dan langsung wudlu dan sholat adalah responnya. Sehingga, jelas A ini bisa dikatakan sebagai pemuda yang mempunyai religiusitas yang tinggi.
Ketika Dia melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Universitas, Dia harus merelakan dirinya untuk meninggalkan kampung halamannya karena Universitasnya jauh dari kampungnya. Dengan berat hati Dia pun mengekost di sebuah kost-kostan di dekat Universitasnya. Selain lingkungan yang baru juga teman dan nuansa yang baru. Teman-temannya yang berlatar belakang yang berbeda-beda, hanya segelintir orang yang beraasal dari kampung kebanyakan dari kota dan transisi. Perlu kita ketahui, agama orang-orang transisi dan perkotaan itu religiusitasnya kurang. Mereka lebih mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi dibanding ukhrawi. Dengan bergulirnya waktu, tanpa ia sadari Dia sedang melakukan pembentukan karakter dirinya. Sehingga, A yang dulunya religiusitasnya tinggi lambat laun menjadi melemah hal ini karena, lingkungan keseharian yang kurang memfasilitasinya untuk melakukan religiusitas seperti biasa. Ketika ada adzan, dia menjadi tidak langsung mengambil wudlu dan sholat namun dia sibuk melanjutkan aktivitasnya sehingga terkadang dia mengakhirkan sholat. 
Dari contoh diatas jika kita korelasikan dengan teori behaviorisme, yang dimana lingkungan itu dapat meemengaruhi tingkah-laku seorang manuisa, terbuktiu dengan deskrifsi di atas. Kemudian dengan refleksiologi Pavlov yang menyatakan tingkah-laku manusia itu terpengaruh oleh adanya reflektor-reflektor yang memengaruhi seorang individu dalam lingkungannya. A yang dulunya religiusitasnya tinggi menjadi rendah karena reflektor-relektof lingkungannya ketika dikostan sangat kurang mendorong terhadap religiusitasnya.  
Teori II:
Humanisme Maslow
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.[6]
Humanistik sebagai reaksi terhadap behaviorisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis.[7] Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. [8]
Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. [9]
Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :[10]
 1. Kebutuhan fisiologis/ dasar
 2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
 3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
 4. Kebutuhan untuk dihargai
 5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Kritik terhadap teori piramida kebutuhan
Tapi ada sebuah loncatan pada piramida kebutuhan Maslow yang paling tinggi, yaitu kebutuhan mencapai aktualisasi diri. Kebutuhan itu sama sekali berbeda dengan keempat kebutuhan lainnya, yang secara logika mudah dimengerti. Seakan-akan ada missing link antara piramida ke-4 dengan puncak piramida. Seolah-olah terjadi lompatan logika.[11]
Contohnya:
Si B adalah seorang yang mempunyai tingkat kebutuhan atau hirarki kebutuhan yang tinggi, sehingga dia jadikan sasaran potensi-potensinya untuk mencapai kebutuhan untuk aktualisasi dirinya. Karena, dia terlalu tersibukan oleh pemaksimalan potensi-potensi dirinya untuk mencapai tinggkatan paling tinggi dalam kebutuhannya sehingga waktu atau fasilitaf yang mendorong pada religiusnya kurang. Dengan kata lain dia memiliki religiusitas yang kurang (rendah).
Si C adalah teman sebaya B, dia berbeda sekali dengan B. Dia memiliki tingkatan kebutuhan yang rendah, atau dengan kata lain seluruh pottensi dirinya dia curahkan terhadap kebutuhan fisiologis/dasar. Disamping itu, dia juga mempunyai religiusitas yang lumayang lebih tinggi dari B, karena pemaksimalan potensi-potensi dirinya tidak terlalu ia kekang untuk mencapai sebuah tingkatan yang lebih tinggi. Baginya, asalkan kebutuhan fisiologis terpenuhi dia sudah merasa bahagia dan cukup.
Dari deskripsi diatas dapat kita ambil sebuah argumen bahwa, semakin tinggi tingkat kebutuhan seseorang maka tingkat religiussitasnya akan semakin rendah.   


[1] Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1996), hlm. 6.
[2] Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu pengantar dalam perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke- 3, hlm. 36.
[3] Ibid, hlm. 37.
[4] Ibid, hlm. 6.
[5] Agus Suyanto, Psokologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. Ke- 14, hlm. 117.
[6] Ahmad sudrajat, Diakses dari: http://Sekilas%20tentang%20Psikologi%20Humanistik %20_%20AKHMAD%20 SUDRAJAT_%20TENTANG%20PENDIDIKAN.mht, tanggal 6 Juni 2012, pukul. 09.00 WIB.
[7] Anonim, diakses dari: http://ABRAHAM%20MASLOW%20(Tokoh%20Psikologi%20 Humanistik)%20_%20PSYCHOLOGYMANIA.mht
[8] Ahmad, Loc. cit.,
[9] Ahmad, Loc. cit.,
[10] Anonim, Loc. cit.,
[11] Anonim, Loc. cit.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar