Kamis, 07 Juni 2012

Madrais


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.             Latar Belakang
Agama terbagi menjadi dua, yaitu agama besar dan agama kecil (agama lokal). Perbedaan yang signifikannya selain dari sya`riatnya tapi juga ditinjau dari pengakuan dari negara. Agama besar yang dimana sudah dikuatkan keabsahannya, berbeda dengan agama lokal yang cenderung tidak diakui oleh negara. Hal ini terjadi kemungkinan karena, kebanyakan agama lokal pengikut atau jam`ahnya itu sedikit jadi bisa digolongkan pada minoritas.
Terlepas dari hal itu, agama lokal yang ada di Indonesia ini banyak sekali, setiap agama lokal mempunyai syari`at yang berbeda-beda. Agama lokal ini muncul dengan dibawa oleh pencetus agama lokal itu sendiri, yang dimana pencetusnya ini kebanyakan yang sudah mempelajari tentang agama-agama besar. Namun, mereka bukannya memegang teguh agama besar yang sudah mereka pelajari, malah berinisiatif membuat atau mendirikan agama baru. Tapi, kebanyakan pembelajaran dari agama-agama besar yang telah mereka pelajari itu dijadikan juga sebagai landasan pembuatan agama baru yang mereka dirikan.
Agama Djawa Sunda (ADS) adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Sesuai dengan yang sudah penyusun paparkan, agama lokal yang satu ini juga mempunyai syari`at yang berbeda dengan agama lainnya. Makalah ini akan membahas tentang agama lokal yang didirikan oleh Madrais.



1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Siapa Madrais itu?
2. Bagaimana ajaran atau doktrin agama lokalnya?
1.3.            Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui biografi Madrais.
2.      Mengetahui doktrin dan ajaran Madrais.
  

BAB II
PEMBAHASAN
1.                                          Biografi Madrais
Madrais atau Taswan atau Pangeran Surya Nata atau Pangeran Sadewa atau juga Pangeran Alibasyah Wijayakusumah adalah anak dari Pangeran Alibassa, yang dimana Pangeran Alibassa adalah putra Pangeran Sutajaya dan cucu dari Pangeran Sutajaya Upas. Pangeran Alibassa merupakan penguasa Gebang yang kedelapan dan sekaligus terakhir. Setelah keraton Gebang hancur, Pangeran Sutajaya berada dalam pengawasan  Belanda di Cirebon. Sedangkan Pangeran Alibassa menetap di Susukan (Ciawigebang). Di sini pula Madrais lahir, yaitu dari Ibu Raden Kastewi, seorang keturunann kelima menak setempat, yaitu Tumenggung Jayadipura.
Dia adalah seorang kiai dengan pribadi yang sangat berbeda dari pemimpin agama pada lazimnya. Ia dikenal sebagai nama Madrais. Kelak kemudian orang akan tahu, bahwa sejatinya ia salah seorang anak raja Cirebon. Dengan sembunyi-sembunyi ia mengawini seorang perempuan dari daerah Ciawigebang, desa di Selatan Cirebon, ketika ia sedang berjalan-jalan di desa itu. Ia menikmati hidupnya di daerah pegunungan dan merahasiakan asal-usul dirinya. Tapi akhirnya tersingkap juga riwayatnya, sehingga Gubernur Jawa Barat yang Belanda itu mengesahkan statusnya sebagai pangeran, dengan gelar Pangeran Alibasyah Wijayakusumah. Di Cigugur kiai Madrais mendirikan aliran kebatinan, yang dinamakan Agama Jawa Pasundan. Pengikut-pengikutnya tidak hanya berasal dari daerah Cigugur dan sekitarnya saja, tapi juga dari daerah-darah yang jauh seperti Ciamis, Garut, dan bahkan sampai Sumedang.[1]
            Menurut Pangeran Djatikusumah (79), cucu sekaligus penerus ajaran Kiai Madrais, semula kakeknya bernama kecil Taswan. Kelak setelah dewasa bernama Sadewa Alibassa Wijayakusuma Ningrat atau dikenal dengan nama Pangeran Surya Nata. Pada perkembangan berikutnya, ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Madrais atau Kiai Madrais. Sebutan ‘kiai’ sesungguhnya sebutan penghargaan kepada seorang tokoh atau pemimpin yang sangat dihormati dan dituakan. Saat berusia 10 tahun, Kiai Madrais bekerja pada Kuwu Sagarahiang sebagai penggembala kerbau. Baru sekitar 1840 nama Kiai Madrais mulai dikenal di Cigugur. Pada masa itu, Ki Madrais sering berkelana keluar masuk Cigugur hingga akhirnya menetap di desa itu. Di desa inilah Kiai Madrais mendirikan pesantren dengan mengajarkan agama Islam. Kepada santri-santrinya, dia selalu mengingatkan untuk dapat lebih menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri (Djawa Sunda). Kiai Madrais dikenal oleh masyarakat awam dan kalangan pesantren, mengajarkan tuntunan hidup yang disebut sebagai “Jati Sunda”. Pemerintah Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru menyebut ajaran itu dengan sebutan Ajaran Djawa Sunda (ADS) yang merupakan kependekan dari “andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda” atau memilih dan menyaring roh kehidupan alam untuk menyempurnakan menjadi roh insan. Dituturkan Djatikusumah, sebagai pemimpin umat, Kiai Madrais dikenal memiliki cara pandang yang sangat luas dalam wawasan kebangsaan dan kemanusiaan melalui ajaran yang menyangkut “Cara dan Ciri Manusia” yang meliputi: welas asih (cinta kasih), tata krama (aturan berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi (kreativitas dan sopan santun berbahasa), wiwaha yuda na raga (sikap bijak dan penuh pertimbangan) serta “Cara dan Ciri Bangsa” yang meliputi: rupa, aksara, adat, dan budaya. Tuntunan hidup Madraisme ini dianggap berbahaya oleh kolonial Belanda karena akan dianggap membakar semangat pariotisme dan nasionalisme.[2]
Pada zaman hidupnya, Kyai Madrais telah dicap sebagai orang yang mempersiapkan suatu pemberontakan, pada tahun 1901 pengikutnya ribuan, madrais di buang ke Tanah Merah (Merauke) dan Digul, bebas 1908.[3]
Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik. Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.[4] 

2.                                          Ajaran dan Doktrin
Konsep ajaran kyai madrais (pangeran sadewa) pikukuh tilu yang menekankesadaran tinggi natqs kodrat ,manuisia (cara cirri manusa), kodrat kebangsaan (cara cirri bangsa), serta mengabdi kepada yng seharusnya (madep ka ratu raja) tidak muncul begitu saja. Kemuncuan ajarannya paling tidak dilandasi oleh latar belakang keluiarga atau leluhurnya. [5]
Sekali tiap tahun, mulai pada ari pertama dari buan pertama penanggalan Jawa, yaitu pada tanggal 1 Syura, diselenggarakanlah prayaan besar-besaran oleh para pengikut Kiai Madrais yang berlangsung selama 40 hari 40 makam. Gamelan ditabuh siang malam, petasan dan kembang api dipasang terus-menrus, desa penuh orang berjualan makanan, minuman, dan permaina anak-anak, prtunjukan wayang golek digelar sepanjang malam, tayban diadakan dengan mengundang para bangswan kraton Cirebon. Tapi, dari kalangan penduduk Cigugur, hanya ayah Bondan yang boleh hadir. Ransudirja yakin, bahw pangeran madrais tidak bias diganggu gugat. Bondan mengatakan peangeran ini berprilaku sngat tidak wajar. Pada perayaan syura ia mengenakan pakaian seperti tokoh kesatria pewayangan, dengan telanjng dada, pantolan batik, kalung, gelang dan gelang kakai, pinggang diilir kuat-kuat dengan selenang segala perlngkapan busan kestria pewayangan. Bondan pernah mlihatnyaketika ia kluar dari istana, berbusana dengan gay smacam itu, lalui mengucapkan pidato didepan perayaan syura trsebut. Tapi bondan yang tidak pernahn terusik pada dunia kebatinan, tidak mengeti apa yang dipidatokannya, demikian juga ia tidak paham membaca isi risalah-risalah yang diterbitkan dan bibagi-bagikan oleh aliran ini.[6]
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara "Seren Taun" pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurahman Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid serta semua Nabi yang diturunkan ke bumi.
Ransudirja yakin, bahwa pangeran madrais tidak bias diganggu gugat. Bondan mengatakan peangeran ini berprilaku sngat tidak wajar. Pada perayaan syura ia mengenakan pakaian seperti tokoh kesatria pewayangan, dengan telanjng dada, pantolan batik, kalung, gelang dan gelang kakai, pinggang diilir kuat-kuat dengan selenang segala perlngkapan busan kestria pewayangan. Bondan pernah mlihatnyaketika ia kluar dari istana, berbusana dengan gay smacam itu, lalui mengucapkan pidato didepan perayaan syura trsebut. Tapi bondan yang tidak pernahn terusik pada dunia kebatinan, tidak mengeti apa yang dipidatokannya, demikian juga ia tidak paham membaca isi risalah-risalah yang diterbitkan dan bibagi-bagikan oleh aliran ini. Selain itu karena non muslim Agama Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.Positif di pandang nasionalis kebangsaan (Indonesia) . nmun, masy penghayat yang menjalankan piukuh tilu tetep du\icurigi smpe orde baru dan refor. Jika msa blanda krna curiga brontak saat ni curiga sesat. Demikianlah ajaran madrais meskipun mengajarkan perihal yang positif selalu di curigai dan ditindas baik oleh bangsa lain maupun bangsa endiri, hanya karena (sebenarnya?) alas an ajaran dan penganut yang tidak majoritas.
  
BAB III
PENUTUP
3.1.      Kesimpulan
Madrais adalah seorang anak raja, dia belajar agama Islam di pesantren dan mendirikan sebuah pesantren di Gebang dan dia mendirikan agama baru yang disebut Agama Djawa Sunda (ADS).
Aliran keagamaan dari agama Madrais mempunyai ajaran dan doktrin yang kuat kepada umatnya. Hal ini terbukti dengan adanya upacara-upacara keagamaan yang menurut kita itu adalah suatu hal yang berlebih-lebihan tapi, menurut merewka mungkin tu adalah kewajiban. Contoh kongkritnya upacara seren taun 40 hari 40 malam. Bukti dari dampak doktrinnya itu adalah ketika Madrais dipenjara dan pulang lagi dari pengasingannya, umatnya yang selalu mengikutinya tetap tidak berkurang tidak bertambah. Mereka ketika ditinggalkan pendiri atau pemimpinnya bukan berkurang keyakinannya malah nambah kuat.
3.2.      Saran
Ketika kita mempelajari sebuah agama hasur secara syumul (menyeluruh), karena ketika agama diparsialkan maka agama itu akan terkesan tidak universal. Dampaknya seperti yang terjadi pada Madrais, dia belajar Islam tapi hasil dari pembelajaran dan implementasi dari keislamannya itu jauh dari agama islam itu sendiri, hingga dia memndirikan agama baru.


[1] Molly Bondan, Spaning a religion-keaksian Eks-Digulis dan pergrakan nasional Indonesia, (Jakarta: Yayaysan Obor Indonesia: 2008), cet. 1. hlm 61-62
[2]Diakses dari: http://madrais/Kebenaran%20Takkan%20Gugur%20di%20Cigugur%20-%20Majalah% 20Warisan %20Indonesia.htm. tanggal 23 Mei 2012. Pukul. 23.00 WIB
[3] Budi Susanto, s. j. Sisi senyap politik bising. (Yogjakarta: Kanisius, 2007), cet1, hal.209
[4] Diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_Sunda. tanggal 23 Mei 2012. Pukul. 23.00.
[5] Budi Susanto, s. j. Sisi senyap politik bising. (Yogjakarta: Kanisius, 2007), cet1, hal.201
[6] Molly Bondan, Spaning a religion-keaksian Eks-Digulis dan pergrakan nasional Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 2008), cet. 1. hlm 61-62


Tidak ada komentar:

Posting Komentar