BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Agama
terbagi menjadi dua, yaitu agama besar dan agama kecil (agama lokal). Perbedaan
yang signifikannya selain dari sya`riatnya tapi juga ditinjau dari pengakuan
dari negara. Agama besar yang dimana sudah dikuatkan keabsahannya, berbeda
dengan agama lokal yang cenderung tidak diakui oleh negara. Hal ini terjadi
kemungkinan karena, kebanyakan agama lokal pengikut atau jam`ahnya itu sedikit
jadi bisa digolongkan pada minoritas.
Terlepas
dari hal itu, agama lokal yang ada di Indonesia ini banyak sekali, setiap agama
lokal mempunyai syari`at yang berbeda-beda. Agama lokal ini muncul dengan
dibawa oleh pencetus agama lokal itu sendiri, yang dimana pencetusnya ini
kebanyakan yang sudah mempelajari tentang agama-agama besar. Namun, mereka
bukannya memegang teguh agama besar yang sudah mereka pelajari, malah
berinisiatif membuat atau mendirikan agama baru. Tapi, kebanyakan pembelajaran
dari agama-agama besar yang telah mereka pelajari itu dijadikan juga sebagai
landasan pembuatan agama baru yang mereka dirikan.
Agama
Djawa Sunda (ADS) adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di
daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai
Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais
atau agama Cigugur. Sesuai dengan yang sudah penyusun paparkan, agama lokal
yang satu ini juga mempunyai syari`at yang berbeda dengan agama lainnya.
Makalah ini akan membahas tentang agama lokal yang didirikan oleh Madrais.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.
Siapa Madrais itu?
2.
Bagaimana ajaran atau doktrin agama lokalnya?
1.3.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui
biografi Madrais.
2. Mengetahui
doktrin dan ajaran Madrais.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Madrais
Madrais
atau Taswan atau Pangeran Surya Nata atau Pangeran Sadewa atau juga Pangeran Alibasyah Wijayakusumah adalah anak dari
Pangeran Alibassa, yang dimana Pangeran
Alibassa adalah putra Pangeran Sutajaya dan cucu dari Pangeran Sutajaya Upas.
Pangeran Alibassa merupakan penguasa Gebang yang kedelapan dan sekaligus
terakhir. Setelah keraton Gebang hancur, Pangeran Sutajaya berada dalam pengawasan Belanda di Cirebon. Sedangkan Pangeran
Alibassa menetap di Susukan (Ciawigebang). Di sini pula Madrais lahir, yaitu
dari Ibu Raden Kastewi, seorang keturunann kelima menak setempat, yaitu Tumenggung
Jayadipura.
Dia adalah seorang kiai dengan pribadi yang sangat berbeda dari pemimpin
agama pada lazimnya. Ia dikenal sebagai nama Madrais. Kelak kemudian orang akan
tahu, bahwa sejatinya ia salah seorang anak raja Cirebon. Dengan
sembunyi-sembunyi ia mengawini seorang perempuan dari daerah Ciawigebang, desa
di Selatan Cirebon, ketika ia sedang berjalan-jalan di desa itu. Ia menikmati
hidupnya di daerah pegunungan dan merahasiakan asal-usul dirinya. Tapi akhirnya
tersingkap juga riwayatnya, sehingga Gubernur Jawa Barat yang Belanda itu
mengesahkan statusnya sebagai pangeran, dengan gelar Pangeran Alibasyah
Wijayakusumah. Di Cigugur kiai Madrais mendirikan aliran kebatinan, yang
dinamakan Agama Jawa Pasundan. Pengikut-pengikutnya tidak hanya berasal dari
daerah Cigugur dan sekitarnya saja, tapi juga dari daerah-darah yang jauh
seperti Ciamis, Garut, dan bahkan sampai Sumedang.[1]
Menurut Pangeran Djatikusumah
(79), cucu sekaligus penerus ajaran Kiai Madrais, semula kakeknya bernama kecil
Taswan. Kelak setelah dewasa bernama Sadewa Alibassa Wijayakusuma Ningrat atau
dikenal dengan nama Pangeran Surya Nata. Pada perkembangan berikutnya, ia lebih
dikenal dengan nama Pangeran Madrais atau Kiai Madrais. Sebutan ‘kiai’
sesungguhnya sebutan penghargaan kepada seorang tokoh atau pemimpin yang sangat
dihormati dan dituakan. Saat berusia 10 tahun, Kiai Madrais bekerja pada Kuwu
Sagarahiang sebagai penggembala kerbau. Baru sekitar 1840 nama Kiai Madrais
mulai dikenal di Cigugur. Pada masa itu, Ki Madrais sering berkelana keluar
masuk Cigugur hingga akhirnya menetap di desa itu. Di desa inilah Kiai Madrais
mendirikan pesantren dengan mengajarkan agama Islam. Kepada santri-santrinya,
dia selalu mengingatkan untuk dapat lebih menghargai cara dan ciri kebangsaan
sendiri (Djawa Sunda). Kiai Madrais dikenal oleh masyarakat awam dan kalangan
pesantren, mengajarkan tuntunan hidup yang disebut sebagai “Jati Sunda”. Pemerintah
Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru menyebut ajaran itu dengan sebutan Ajaran
Djawa Sunda (ADS) yang merupakan kependekan dari “andjawat lan andjawab roh
susun-susun kang den tunda” atau memilih dan menyaring roh kehidupan alam untuk
menyempurnakan menjadi roh insan. Dituturkan Djatikusumah, sebagai pemimpin
umat, Kiai Madrais dikenal memiliki cara pandang yang sangat luas dalam wawasan
kebangsaan dan kemanusiaan melalui ajaran yang menyangkut “Cara dan Ciri
Manusia” yang meliputi: welas asih (cinta kasih), tata krama (aturan
berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi (kreativitas dan
sopan santun berbahasa), wiwaha yuda na raga (sikap bijak dan penuh
pertimbangan) serta “Cara dan Ciri Bangsa” yang meliputi: rupa, aksara, adat, dan
budaya. Tuntunan hidup Madraisme ini dianggap berbahaya oleh kolonial Belanda
karena akan dianggap membakar semangat pariotisme dan nasionalisme.[2]
Pada zaman hidupnya, Kyai Madrais telah dicap sebagai orang yang
mempersiapkan suatu pemberontakan, pada tahun 1901 pengikutnya ribuan, madrais
di buang ke Tanah Merah (Merauke) dan Digul, bebas 1908.[3]
Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami
kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam,
Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika
pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak
pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik. Kiai
Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya,
Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11
Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). Pangeran
Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat
Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak
lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara
anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.[4]
2.
Ajaran dan
Doktrin
Konsep ajaran kyai madrais (pangeran sadewa) pikukuh tilu yang
menekankesadaran tinggi natqs kodrat ,manuisia (cara cirri manusa), kodrat
kebangsaan (cara cirri bangsa), serta mengabdi kepada yng seharusnya (madep ka
ratu raja) tidak muncul begitu saja. Kemuncuan ajarannya paling tidak dilandasi
oleh latar belakang keluiarga atau leluhurnya. [5]
Sekali tiap tahun, mulai pada ari pertama dari buan pertama
penanggalan Jawa, yaitu pada tanggal 1 Syura, diselenggarakanlah prayaan
besar-besaran oleh para pengikut Kiai Madrais yang berlangsung selama 40 hari
40 makam. Gamelan ditabuh siang malam, petasan dan kembang api dipasang
terus-menrus, desa penuh orang berjualan makanan, minuman, dan permaina
anak-anak, prtunjukan wayang golek digelar sepanjang malam, tayban diadakan
dengan mengundang para bangswan kraton Cirebon. Tapi, dari kalangan penduduk
Cigugur, hanya ayah Bondan yang boleh hadir. Ransudirja yakin, bahw pangeran
madrais tidak bias diganggu gugat. Bondan mengatakan peangeran ini berprilaku
sngat tidak wajar. Pada perayaan syura ia mengenakan pakaian seperti tokoh
kesatria pewayangan, dengan telanjng dada, pantolan batik, kalung, gelang dan
gelang kakai, pinggang diilir kuat-kuat dengan selenang segala perlngkapan
busan kestria pewayangan. Bondan pernah mlihatnyaketika ia kluar dari istana,
berbusana dengan gay smacam itu, lalui mengucapkan pidato didepan perayaan
syura trsebut. Tapi bondan yang tidak pernahn terusik pada dunia kebatinan,
tidak mengeti apa yang dipidatokannya, demikian juga ia tidak paham membaca isi
risalah-risalah yang diterbitkan dan bibagi-bagikan oleh aliran ini.[6]
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda
sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini
dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang
didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang
membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk
beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan
sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan
kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga
tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh
pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan
kembali. Salah satu upacara "Seren Taun" pernah dihadiri oleh Menteri
Perindustrian, Andung A. Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurahman Wahid, dan
istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang
Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid
serta semua Nabi yang diturunkan ke bumi.
Ransudirja yakin, bahwa pangeran madrais tidak bias diganggu gugat.
Bondan mengatakan peangeran ini berprilaku sngat tidak wajar. Pada perayaan
syura ia mengenakan pakaian seperti tokoh kesatria pewayangan, dengan telanjng
dada, pantolan batik, kalung, gelang dan gelang kakai, pinggang diilir
kuat-kuat dengan selenang segala perlngkapan busan kestria pewayangan. Bondan
pernah mlihatnyaketika ia kluar dari istana, berbusana dengan gay smacam itu,
lalui mengucapkan pidato didepan perayaan syura trsebut. Tapi bondan yang tidak
pernahn terusik pada dunia kebatinan, tidak mengeti apa yang dipidatokannya,
demikian juga ia tidak paham membaca isi risalah-risalah yang diterbitkan dan
bibagi-bagikan oleh aliran ini. Selain itu karena non muslim Agama Sunda atau ajaran Madrais ini
tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam
sebuah peti mati.Positif di pandang nasionalis kebangsaan (Indonesia) . nmun,
masy penghayat yang menjalankan piukuh tilu tetep du\icurigi smpe orde baru dan
refor. Jika msa blanda krna curiga brontak saat ni curiga sesat. Demikianlah
ajaran madrais meskipun mengajarkan perihal yang positif selalu di curigai dan
ditindas baik oleh bangsa lain maupun bangsa endiri, hanya karena (sebenarnya?)
alas an ajaran dan penganut yang tidak majoritas.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Madrais
adalah seorang anak raja, dia belajar agama Islam di pesantren dan mendirikan
sebuah pesantren di Gebang dan dia mendirikan agama baru yang disebut Agama
Djawa Sunda (ADS).
Aliran
keagamaan dari agama Madrais mempunyai ajaran dan doktrin yang kuat kepada
umatnya. Hal ini terbukti dengan adanya upacara-upacara keagamaan yang menurut
kita itu adalah suatu hal yang berlebih-lebihan tapi, menurut merewka mungkin
tu adalah kewajiban. Contoh kongkritnya upacara seren taun 40 hari 40 malam.
Bukti dari dampak doktrinnya itu adalah ketika Madrais dipenjara dan pulang
lagi dari pengasingannya, umatnya yang selalu mengikutinya tetap tidak
berkurang tidak bertambah. Mereka ketika ditinggalkan pendiri atau pemimpinnya
bukan berkurang keyakinannya malah nambah kuat.
3.2.
Saran
Ketika
kita mempelajari sebuah agama hasur secara syumul (menyeluruh), karena ketika
agama diparsialkan maka agama itu akan terkesan tidak universal. Dampaknya
seperti yang terjadi pada Madrais, dia belajar Islam tapi hasil dari
pembelajaran dan implementasi dari keislamannya itu jauh dari agama islam itu
sendiri, hingga dia memndirikan agama baru.
[1] Molly Bondan,
Spaning a religion-keaksian Eks-Digulis dan pergrakan nasional
Indonesia, (Jakarta: Yayaysan Obor Indonesia: 2008), cet. 1. hlm 61-62
[2]Diakses dari:
http://madrais/Kebenaran%20Takkan%20Gugur%20di%20Cigugur%20-%20Majalah% 20Warisan
%20Indonesia.htm. tanggal 23 Mei 2012. Pukul. 23.00 WIB
[4] Diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_Sunda.
tanggal 23 Mei 2012. Pukul. 23.00.
[5]
Budi Susanto, s. j. Sisi
senyap politik bising. (Yogjakarta: Kanisius, 2007), cet1, hal.201
[6] Molly Bondan, Spaning a religion-keaksian Eks-Digulis dan pergrakan nasional
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia:
2008), cet. 1. hlm 61-62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar